Kamis, 26 Januari 2012

Mutu dan Manajemen Pakan Demi Lingkungan

Oleh: Widyatmoko (PT Suri Tani Pemuka)

Protein dalam pakan harus diberikan secukupnya agar tidak mencemari lingkungan

Keberlanjutan kegiatan akuakultur atau perikanan budidaya sangat erat hubungannya dengan kualitas lingkungan perairan sekitarnya. Perkembangan dalam beberapa tahun terakhir, tak sedikit kalangan yang mengkambinghitamkan industri akuakultur sebagai perusak keseimbangan ekosistem perairan. Alasannya mengganggu ketersediaan ikan tangkap serta mempengaruhi keragaman biologi (biodiversity) ikan-ikan di alam dan tidak berkesinambungan.
Limbah kegiatan akuakultur dianggap mencemari ekosistem perairan karena kandungan unsur nitrogen dan fosfat yang tinggi. Ada pula limbah material padatan terlarut yang bisa mengganggu keseimbangan kehidupan plankton dalam air. Penggunaan tepung ikan dalam pakan ikan juga dianggap bisa mengganggu kelangsungan sediaan ikan di alam. Kegiatan akuakultur dianggap tidak bisa berkesinambungan karena ketergantungannya pada sediaan tepung ikan sebagai unsur utama penyusun pakan buatan.

Limbah Akuakultur
Permasalahan tersebut muncul dari kegiatan akuakultur intensif yang padat modal, teknologi, dan menghasilkan sisa buangan yang tinggi per volume air. Utamanya untuk ikan-ikan bernilai tinggi seperti udang, salmon, dan ikan-ikan karnivora. Limbah yang dikeluarkan dari kegiatan akuakultur bersumber dari:

  1. Sisa-sisa proses metabolisme ikan, berasal dari sisa rangkaian proses metabolisme dalam tubuh ikan yang dikeluarkan melalui insang dan urine.
  2. Sisa-sisa proses pencernaan ikan, berasal dari makanan yang dikonsumsi oleh ikan tetapi tidak bisa dicerna dan akhirnya dikeluarkan lagi dalam bentuk feces (kotoran).
  3. Sisa-sisa pakan yang tidak dimakan oleh ikan atau kelebihan dari pakan yang diberikan.

Ketiga limbah tersebut menimbulkan pengaruh negatif pada lingkungan jika berlebih, yaitu melebihi kemampuan alami perairan untuk menguraikannya. Untuk mengurangi pengaruh negatif tersebut caranya dengan memperbaiki mutu dan teknis pemberian pakan.
Perbaikan mutu pakan, khususnya pada peningkatan jumlah nutrien yang diserap sehingga mengurangi jumlah nutrien yang terbuang ke lingkungan. Perbaikan pakan ini bisa meningkatkan jumlah pakan yang dicerna sehingga mengurangi produksi feces yang terbuang ke lingkungan. Otomatis hal ini akan mengurangi jumlah pakan yang tidak termakan oleh ikan.
Tentang limbah akuakultur ini, ada 3 komponen utama yang dianggap bisa menimbulkan dampak negatif terhadap lingkungan perairan yaitu limbah nitrogen, fosfor dan limbah dalam bentuk padatan. Limbah nitrogen dan fosfor berasal dari makanan yang tidak termakan, makanan yang tidak tercerna, dan sisa metabolisme tubuh ikan. Sedangkan limbah padat berasal dari makanan yang tidak termakan dan feces ikan.

Pengaruh Limbah Akuakultur
Bagaimana pengaruh dari nitrogen, fosfor, dan bahan-bahan lain yang dihasilkan oleh kegiatan akuakultur? Berapa banyak bahan-bahan tersebut dikeluarkan ke lingkungan? Mari kita hitung dengan cara sederhana. Contoh kasus di Waduk Cirata Jawa Barat sebagai salah satu sentra produksi ikan air tawar di Indonesia.
Berdasarkan perkiraan kasar, ikan di Cirata rata-rata mengkonsumsi 6.000 ton pakan per bulan. Pakan tersebut rata-rata mengandung 26 % protein, maka bisa dihitung 6.000 ton x 26 % = 1.560 ton protein. Protein mengandung sekitar 16 % nitrogen, berarti pakan tersebut mengandung 250 ton nitrogen.
Jika diasumsikan bahwa pakan yang tidak termakan mencapai 5 %, maka pakan yang dikonsumsi oleh ikan sebanyak 5.700 ton atau setara dengan 237 ton nitrogen (5.700 x 0,26 x 0,16). Sedangkan sisanya sebanyak 12,48 ton nitrogen akan menjadi pupuk langsung bagi waduk.
Lalu berapa persen pakan yang dikonsumsi bisa dimanfaatkan oleh ikan? Dari sejumlah protein yang dikonsumsi ikan diperkirakan hanya 30 – 40 % yang akan menjadi daging, sisanya terbuang sebagai feces. Berdasarkan asumsi di atas, maka dari 237 ton nitrogen yang dikonsumsi ikan tiap bulan, terdapat sekitar 154 ton nitrogen yang dibuang lagi ke perairan Waduk Cirata.

Waspadai Mikotoksin pada Pakan Ikan

Banyak pelaku industri perikanan tidak terlalu fokus terhadap bahaya mikotoksin

Mikotoksin kian menjadi buah bibir di kalangan dunia perikanan. Meskipun efeknya pada ikan dan udang belum dipelajari secara meluas layaknya di sektor peternakan, tetapi jamur tersebut terbukti berdampak negatif pada perkembangan industri perikanan. Setidaknya itulah pendapat pakar akuakultur dari Biomin Singapura, Pedro Encarnacao.

”Saat ini tren penggunaan sumber protein nabati terus meningkat karena mahalnya sumber protein hewani seperti tepung ikan. Ini akan membuat risiko mikotoksin pada pakan ikan dan udang turut meningkat. Ditambah lagi dengan terjadinya perubahan cuaca yang menyebabkan kontaminasi jamur pada bahan baku pakan semakin tinggi,” jelas Pedro.

Senada dengan itu, Technical Sales Manager Aquaculture PT Alltech Biotechnology Indonesia, Fajar Sutriandhi mengatakan, kontaminasi mikotoksin kerap ditemukan pada bahan baku pakan dan pakan jadi. Celakanya, tidak ada batas toleransi aman dari berbagai jenis mikotoksin itu.

Bahaya Aflatoxin

Untuk jenis mikotoksin yang mengancam komoditas perikanan, Fajar menyebutkan antara lain Aflatoxin, Zearalenone,Deoxynivalenol (DON), Fumonisin, T-2 toxin, dan Ochratoxin. Jenis-jenis tersebut berpotensi menurunkan tingkat pertumbuhan serta status kesehatan ikan dan udang.

Terkait beberapa jenis mikotoksin itu, Pedro menginformasikan, berdasarkan survei mikotoksin oleh tim Biomin di wilayah Asia Tenggara pada bahan baku pakan, Aflatoxin adalah salah satu mikotoksin yang paling banyak ditemukan. Selain itu juga adaFumonisin, mikotoksin yang dihasilkan oleh jamur Fusarium.

Lanjut Pedro, Aflatoxin adalah salah satu mikotoksin yang paling beracun, terutama Aflatoxin B1 (AFB1). Urainya, insang pucat, darah membeku, anemia, pertumbuhan terhambat dan bobot badan rendah merupakan gejala klinis dari jenis mikotoksin yang dihasilkan oleh jamur Aspergillus ini. ”AFB1 sangat beracun karena bersifat karsinogenik (memicu kanker) dan immunosupresif (menekan sistem kekebalan tubuh),” tukasnya.

Ikan air tawar seperti jenis catfish (lele dan patin), nila, serta udang sangat sensitif terhadap AFB1, sebut Pedro. Dari hasil penelitian Jantrarotai dan Lovell pada 1990, catfish yang diberi pakan dengan kandungan 10 ppm AFB1 per kg ransum selama 10 minggu bisa menurunkan laju pertumbuhan dan mengakibatkan internal lesi (luka).

Lalu pada nila, 100 ppm AFB1 bisa menyebabkan penurunan bobot badan dan nekrosis pada hati (Tuan et al., 2002), dan bila konsentrasinya dinaikkan jadi 200 ppb, tingkat kematiannya sebesar 17 % (El-Banna et al., 1992). Sedangkan pada udang (vannamei dan windu), AFB1 mengakibatkan beberapa abnormalitas seperti laju pertumbuhan rendah, tingkat pencernaan rendah, kelainan fisiologis, dan perubahan histopatologi terutama pada jaringan hepatopankreas.

Strategi Atasi Mikotoksin

Mikotoksin selalu terkait kondisi penyimpanan. Kata Fajar, penyimpanan bahan baku pakan dan pakan jadi yang sesuai denganGood Management Practices (GMP) merupakan sebuah keharusan. ”Idealnya bahan baku dan pakan tersebut disimpan di tempat yang kering dengan kadar air kurang dari 10 % dan temperatur sekitar 260Celcius,” terangnya.

Selain itu Fajar juga menyarankan untuk menggunakan mycotoxins adsorbent (pengikat mikotoksin). Beberapa pengikat mikotoksin yang umum digunakan adalah clay seperti alumino-silikat dan zeolit, serat tanaman alfalfa, enzim, suplementasi vitamin C atau α-tocopherol dan polymeric glucomannan.

Tambah Pedro, untuk mendeaktivasi jenis mikotoksin yang tidak bisa diikat seperti Ochratoxin, Zearalenone dan kelompokTrichothecenes, bisa menggunakan aplikasi biotransformasi. ”Aplikasi ini menggunakan mikroorganisme atau enzim spesifik untuk mendegradasi struktur racun menjadi metabolit yang tak beracun,” jelasnya.

Dilema Pelet Ikan dari Kotoran Ternak

Oleh: Soen’an Hadi Poernomo

Dosen Sekolah Tinggi Perikanan Jakarta

Mengupas dilema aplikasi pelet berbahan kotoran ternak sapi untuk pakan ikan. Alasan ekonomis bukan satu-satunya pertimbangan untuk mengaplikasikan temuan teknologi.

Beberapa waktu lalu Penulis tertarik bercampur kaget saat membaca surat kabar nasional yang terkenal dalam rubrik ilmu pengetahuan dan teknologi. Dalam rubrik tersebut ada artikel berjudul “Pelet Ikan dari Kotoran Sapi”. Dalam tulisan tersebut disampaikan inovasi teknologi pakan yang dilakukan oleh sebuah perusahaan agribisnis di Jawa Tengah, mengenai pakan yang biasanya berbahan baku tepung jagung dan tepung ikan, diganti dengan 70 persen kotoran sapi, 20 persen bekatul, dan 10 persen tetes tebu atau air kelapa.

Memang gagasan yang sudah dioperasionalkan tersebut memberikan berbagai manfaat atau memiliki beberapa kelebihan. Dan gagasan ini bisa menarik, karena saat ini berbagai pihak yang terkait dengan akuakultur—pemerintah, peneliti, akademisi, pengusaha, maupun pembudidaya ikan, sedang getol mencari solusi untuk memperoleh pakan alternatif yang harganya lebih murah, agar dapat mendatangkan untung bagi para pelaku usaha, maupun berdayasaing di dunia internasional.

Keberhasilan menekan harga pakan, yang merupakan komponen biaya produksi terbesar, bisa menjadi faktor strategis pencapaian kebijakan nasional peningkatan produksi budidaya ikan sebesar 353 persen pada 2014. Akan tetapi berbarengan manfaat, dengan gamblang menyertai pula kemudharatan, atau keburukan yang bisa mendatangkan malapetaka.

Dalam artikel tersebut disampaikan bahwa pelet ikan di pasaran yang biasanya Rp 8.000 sampai Rp 10.000 per kg, menjadi terlalu mahal bila dibandingkan dengan pelet ikan dari kotoran ternak yang bisa dipasarkan dengan harga Rp 3.000 atau Rp 4.000 per kg. Dalam kondisi kering, kadar proteinnya adalah 10,11 persen. Dijelaskan pula bahwa pada uji coba budidaya lele yang ia lakukan, dengan pelet biasa, masa panen memerlukan 3sampai 4bulan, sedangkan dengan pelet kotoran sapi , ikan bisa dipanen lebih cepat, yakni sekitar 2bulan.

Untuk menghilangkan bau tidak sedap, ditambahkan dalam proses produksinya sebuah cairan organik, atau mungkin cairan probiotik. Sayangnnyadalam artikeltersebut tidak dipertimbangkan ekses negatif yang bisa timbul, dan bahkan bisa fatal terhadap kelangsungan kegiatan budidaya perikanan. Yang disampaikan hanyalah faktor ekonomi mikro, tanpa melihat dampak ekonomi makro, maupun ekses psycho-sosialnya. Penggunaan kotoran ternak untuk bahan pakan ikan ini bisa memberikan dampak negatif bagi pasar ikan domestik maupun luar negeri.

Ekses Pasar Domestik

Pemerintah senantiasa berupaya keras untuk meningkatkan konsumsi ikan perkapita. Disamping bermaksud agar langsung dapat meningkatkan kesejahteraan nelayan dan pembudidaya ikan, juga sekaligus mendukung ketahanan pangan (food security). Apalagi ikan dikenal sebagai sumber protein yang positif.

Terkait dengan pencitraan ikan, penggunaan kotoran ternak sebagai pakan ikan, bisa merupakan “pembenaran” bahwa ikan merupakan hidangan yang menjijikkan, karena suka memakan kotoran. Hal inilah yang saat ini sedang banyak diupayakan untuk dihapus dari opini masyarakat.

Keadaan Koperasi Ikan Air Tawar Desa Sumberrejo Kecamatan Kotagajah Kabupaten Lampung Tengah

Kelompok petani ikan air tawar di Kampung Sumberrejo Kecamatan Kotagajah Kabupaten Lampung Tengah Propinsi Lampung adalah salah satu Kelompok petani ikan air tawar yang ada di kecamatan kotagajah yang di dukung oleh PT. Gas Negara(persero) yang sebagian besar memelihara/pembesaran ikan patin. selain itu adapula petani yang memelihara/pembesaran ikan gurame dan pembibitannya.

jumlah anggota yang telah mengikuti pelatihan yang di adakan oleh PT. Gas Negara (persero) sebanyak 11 orang, sedangkan anggota-anggota baru hingga bulan januari 2012 sebanyak 30 orang.

begitu besar minat masyarakat kampung Sumberrejo sehingga menarik minat PT. Gas Negara (persero) untuk turut mendukung dan membantu untuk pembiayaan para petani di Kampung sumberrejo ini.




KELOMPOK TERNAK IKAN AIR TAWAR DESA SUMBERREJO KECAMATAN KOTAGAJAH

gb. koperasi kami

KELOMPOK TERNAK IKAN AIR TAWAR DESA SUMBERREJO KECAMATAN KOTAGAJAH 2

gb. persiapan kolam sebelum di tabur benih

gb. ikan patin umur 3 bulan


gb. ikan patin umur 3 bulan

gb. ikan patin umur 3 bulan

gb. suasana senja kolam

KELOMPOK TERNAK IKAN AIR TAWAR DESA SUMBERREJO KECAMATAN KOTAGAJAH 3

gb. pemberian pakan ikan patin

gb. ikan patin umur 1 bulan

gb. pemberian pakan ikan patin umur 2 bulan

gb. pemberian pakan ikan patin

gb. kolam pembesaran ikan patin yang baru selesai di buat

KELOMPOK TERNAK IKAN AIR TAWAR DESA SUMBERREJO KECAMATAN KOTAGAJAH 4

gb. ikan patin sesaat setelah di tebar di kolam pembesaran

gb. aktifitas pemberian pakan pada ikan patin umur 20 hari

gb. pakan ikan patin siap saji
gb. keceriaan petani ikan patin
gb. keceriaan petani ikan patin

KELOMPOK TERNAK IKAN AIR TAWAR DESA SUMBERREJO KECAMATAN KOTAGAJAH 5

gb. pakan ikan sebelum di giling


gb. aktifitas penggilingan pakan ikan patin

KELOMPOK TERNAK IKAN AIR TAWAR DESA SUMBERREJO KECAMATAN KOTAGAJAH 6

gb. papan nama kelompok ternak ikan air tawar
Desa Sumberrejo Kecamatan Kotagajah Kabupaten Lampung Tengah
Propinsi Lampung